TENTANG TANJUNGPINANG
Sekilas Sejarah
Nama Tanjungpinang sendiri diambil dari posisinya yang menjorok ke laut yang oleh orang Melayu disebut Tanjung. Tanjung tersebut ditumbuhi oleh pohon Pinang, pohon pinang tersebut kemudian menjadi tanda bagi pelayar yang akan memasuki kawasan sungai Bintan atau Hulu Riau
Pada masa kerajaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil, beliau memerintahkan Laksmananya Tun Abdul Jamil untuk membuka Bandar perdagangan yang terletak di Pulau Bintan tepatnya di Sungai Carang Hulu Riau. Bandar baru tersebut menjadi Bandar yang ramai dan dikenal dengan sebutan Bandar Riau.
Tanjungpinang semakin berkembang menjadi Bandar perdagangan terutama saat dipimpin oleh Raja Haji Fisabilillah sebagai Yang Dipertuan Mudanya. Namun pada tahun 1782- 1784 terjadi “Perang Riau” antara Kerajaan Riau – Lingga-Johor-Pahang dengan VOC Belanda. Puncaknya terjadi pada tanggal 6 Januari 1784 dimana Kerajaan Riau dibawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah berhadil memukul mundur pasukan Belanda yang ditandai dengan dimusnahkannya kapal Komando Belanda “ Malaka’s Walfarent di teluk Riau atau daerah tersebut dikenal dengan sebutan “Jangoi” atau Pulau Paku. Kejadian tersebut mengakibatkan Belanda menarik mundur semua pasukannya dari perairan Riau ke basisnya di Malaka. Kemudian peristiwa 6 Januari tersebut diabadikan sebagai Hari Jadi Tanjungpinang.
Perang Riau kemudian dilanjutkan oleh Raja Haji Fisabilillah dengan menghimpun kekuatan untuk menyerang basis kedudukan Belanda di Malaka, Raja Haji dan pasukan gabungan dari kerajaan Melayu yang jumlahnya 1000 tiba di Malaka pada tanggal 13 Februari 1784. Gempuran dan tekanan pasukan melayu berhasil menduduki beberapa benteng strategis Belanda di Malaka seperti Benteng Bukit Cina dan benteng lainnya. Pada saat itu pula Belanda mendapat tambahan pasukan dari armada Belanda dari Eropa dengan kekuatan 9 buah kapal perang dan 2.130 personil dengan 326 pucuk meriam.
Tanggal 18 Juni 1784 pasukan Jacob Piter Van Bram berhasil menggempur kubu pertahanan Raja Haji Fisabilillah yang mengakibatkan Raja Haji dan 500 pasukannya gugur, kejadian tersebut sekaligus mengakhiri Perang Riau yang ditandai dengan ditanda tanganinya perjanjian “Utrech” pada tanggal 10 November 1784 antara Kerajaan Riau yang diwakili oleh Sultan Mahmud Riayat Syah dan Belanda.
Sultan Mahmud Riayat Syah kemudian memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Riau – Lingga –Johor – Pahang ke Daik Lingga dan diikuti dengan pembesar – pembesar kerajaan serta sebagian besar rakyat. Kawasan Tanjungpinang menjadi kawasan yang kosong.
Pada tanggal 19 Juni 1785 Belanda menempati Tanjungpinang sebagai tempat kedudukan residen. Sejak Belanda menguasai wilayah kerajaan Riau dan campur tangan di dalam kerajaan , membuat kerajaan riau mengalami kemunduran yang puncaknya terjadi pada tahun 1911, Sultan kala itu tidak mau menandatangani perjanjian pemakzulan atau pemberhentian Sultan dan memilih untuk pindah ke Singapura dan berakhir pula Kerajaan Riau – Lingga.
Keberadaan Tanjungpinang tetap menjadi pusat keresidengan Belanda hingga tahun 1942 digantikan Jepang yang sempat menjadikan Tanjungpinang sebagai Pusat pemerintahannya di wilayah Kepulauan Riau. Dan kemudian kembali dipegang Belanda
Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mengakhiri pendudukan Belanda di Indonesia, namun Kemerdekaan baru bergema di Tanjungpinang tahun 1948, dan pada tahun 1950 belanda menyerahkan wilayah Kepauluan Riau kepada Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Undang-undang nomor 19 tahun 1957 dibentuklah propinsi riau yang beribukota di Tanjungpinang, namun pada tahun 1959 ibukota dipindahkan ke Pekanbaru. Tanjungpinang menjadi ibukota kabupaten Kepulauan Riau.
Pada tanggal 18 oktober 1983 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1983 yang menetapkan Kota Tanjungpinang sebagai Kota Administratif. Kemudian pada tahun 2001 sesuai dengan Undang – undang nomor 5 tahun 2001, Kota Administratif Tanjungpinang menjadi Kota Tanjungpinang. Dan saat ini Kota Tanjungpinang menjadi Ibukota Propinsi Kepulauan Riau.
Geografis
Tanjungpinang adalah Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, terletak di Pulau Bintan, pada koordinat 00 50’ 25.93” s/d 00 58’ 54.62” Lintang Utara dan 1040 23’ 23.40” s/d 1040 34’ 49.9” Bujur Timur. Posisi Tanjungpinang sangat strategis, karena berdekatan dengan Kota Batam sebagai salah satu pintu gerbang perdagangan Indonesia dan Kawasan Perdagangan Bebas (free trade zone).
Kota Tanjungpinang dapat ditempuh kurang dari dua jam (< 2jam) perjalanan laut dari Singapura, pusat perdagangan dunia. Kota Tanjungpinang berbatasan darat dengan Kabupaten Bintan dan berbatasan laut dengan Kota Batam.
Batas wilayah Kota Tanjungpinang sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Bintan
Sebelah Selatan : Kabupaten Bintan
Sebelah Timur : Kabupaten Bintan
Sebelah Barat : Kota Batam
Luas wilayah kota Tanjungpinang mencapai 258,82 km2, yang terdiri dari 150,86 Km2 daratan dan 107,96 km2 lautan dengan keadaaan geologis sebagian berbukit- bukit dan lembah yang landai sampai ke tepi laut.
Secara wilayah administrasi Kota Tanjungpinang memiliki 4 Kecamatan dan 18 Kelurahan yaitu :
- Kecamatan Tanjungpinang Timur :
- Kelurahan Melayu Kota piring
- Kelurahan Kampung Bulang
- Kelurahan Air Raja
- Kelurahan Pinang Kencana
- Kelurahan Batu Sembilan
- Kecamatan Tanjungpinang Kota :
- Kelurahan tanjungpinang Kota
- Kelurahan Kampung Bugis
- Kelurahan Senggarang
- Kelurahan Penyengat
- Kecamatan Tanjungpinang Barat :
- Kelurahan Tanjungpinang Barat
- Kelurahan kemboja
- Kelurahan Kampung Baru
- Kelurahan Bukit Cermin
- Kecamatan Bukit Bestari :
- Kelurahan Tanjungpinang Timur
- Kelurahan Dompak
- Kelurahan Tanjung Ayun Sakti
- Kelurahan Sei Jang
- Kelurahan Tanjung Unggat
Kependudukan
Sebagai modal dasar pembangunan, penduduk merupakan asset penting dalam menggerakkan pembangunan suatu daerah. Bukan hanya dengan jumlah yang besar saja tetapi kualitas yang baik lebih berguna dalam meningkatkan mutu kehidupan & kesejahteraan secara umum.
Pada tahun 2018 jumlah penduduk Kota Tanjungpinang sebesar 258.980 jiwa.
Penyebaran penduduk belum merata pada setiap kecamatan. Dari kepadatan
penduduk setiap kecamatan terlihat bahwa penduduk terpadat berada di Kecamatan Tanjungpinang Barat, dengan jumlah penduduk sebanyak 45.880 jiwa dan luas wilayah 34,5 km2 sehingga setiap km2 terdapat 1.330 jiwa.
Sosial Budaya
Tanjungpinang sebagai kota pelabuhan yang ramai telah menarik pendatang
dalam jumlah besar sejak masa Kerajaan Lingga pada abad ke-18. Pendatang - pendatang
tersebut datang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka-Belitung,
Cina, Padang dan sebagainya. Sampai saat ini kelompok etnis terbesar adalah suku
Melayu yang beragama Islam. Kesenian Melayu yang masih dilestarikan dan dipelajari
sampai sekarang meliputi Tari Zapin, Gasal, teater bangsawan, dan Joget Dangkong.
Terdapat suku Melayu yang bertempat tinggal di rumah panggung dan perahu di
sepanjang pesisir pantai yang disebut juga sebagai orang laut. Kebudayaan dan bahasa orang laut berbeda dengan kebudayaan Melayu Riau. Suku Bugis merupakan suku yang telah berasimilasi dengan suku Melayu sejak zaman Kerajaan Riau Lingga. Sejumlah pejabat Kerajaan Riau Lingga diketahui memiliki keturunan Bugis seperti Daeng Celak yang merupakan ayah dari Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau IV.
Secara umum tidak pernah ada ketegangan antar etnis di Tanjunginang karena suku Melayu sebagai suku yang dominan memiliki sikap yang toleran terhadap perbedaan di masyarakat. Etnis Tionghoa banyak bertempat tinggal di Senggarang, KecamatanTanjungpinang Kota dan di daerah kota lama, Kecamatan Tanjungpinang Barat. Etnis Tionghoa sebagian besar berprofesi sebagai pedagang toko atau pengusaha rumah makan. Dialek yang sering paling banyak diucapkan oleh etnis Tionghoa di Kota Tanjungpinang adalah dialek Hokkian. Selain dialek Hokkian juga terdapat penutur dialek lain dalam jumlah yang lebih kecil yakni penutur dialek Khek/Hakka, Teociu, Hokcia, Hokciu dan lain sebagainya. Selain beragam suku dan bahasa, juga beragam agama yang dianut oleh masyarakat Kota Tanjungpinang. Kemajuan dan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat Kota Tanjungpinang dapat dilihat dari beberapa indikator social, seperti: indikator Pendidikan, Kesehatan, Keagamaan dan Indikator Sosial lainnya.
Keagamaan
Pembangunan di bidang fisik harus diimbangi dan dilengkapi dengan pembangunan di bidang mental spritual, sehingga diharapkan akan ada keseimbangan dan keserasian antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Kehidupan beragama yang harmonis antara berbagai umat beragama di Kota Tanjungpinang ini telah terjalin dengan kokoh, hal ini dapat terlihat dengan semakin banyaknya rumah ibadah yang di bangun dari waktu ke waktu.
Sebagian besar penduduk di Kota Tanjungpinang memeluk agama Islam,
dimana pada tahun 2013 jumlah penganutnya mencapai 77,76%. Terbesar kedua yaitu memeluk agama Budha sekitar 14,22%
